Dua kali saya ikut menonton pertandingan langsung sepakbola : pertama saat Barito Putra melawan Niac Mitra di Stadion 17 Mei Banjarmasin; dan satu lagi ketika Indonesia melawan RRC di Gelora Bung Karno.
Suasananya bikin bulu kuduk merinding. Para pendukung menyanyikan lagu-lagu dan yel-yel sambil bersorak-sorai, bergema memenuhi seluruh stadion. Apalagi saat terjadinya gol, stadion seakan-akan mau runtuh karena sorakan suporter.
Mazmur 100
Mazmur untuk korban syukur.
Bersorak-soraklah bagi TUHAN, hai seluruh bumi!
Beribadahlah kepada TUHAN dengan sukacita,
datanglah ke hadapan-Nya dengan sorak-sorai!
Ketahuilah, bahwa TUHANlah Allah;
Dialah yang menjadikan kita dan punya Dialah kita,
umat-Nya dan kawanan domba gembalaan-Nya.
Masuklah melalui pintu gerbang-Nya dengan nyanyian syukur,
ke dalam pelataran-Nya dengan puji-pujian,
bersyukurlah kepada-Nya dan pujilah nama-Nya!
Sebab TUHAN itu baik,
kasih setia-Nya untuk selama-lamanya,
dan kesetiaan-Nya tetap turun-temurun.
Tak terhitung berapa ribu saya menghadiri ibadah, namun tidak pernah saya menemukan sorak-sorai yang bergemuruh karena sukacita dan rasa syukur. Palingan hanya ada satu dua orang, dan itupun hanya pemimpin pujian atau pelayan jemaat.
Memang ada ibadah yang megah dan meriah, namun terjadi karena dukungan pemusik dan sound sistem yang powerfull serta lighting yang spektakuler. Sangat berbeda dengan kemeriahan suporter sepakbola yang hanya bermodalkan drum dan terompet serta suara mereka.
Mazmur 100 mengajarkan 2 hal :
- Bagaimana seharusnya kita menyembah Tuhan.
- Alasan kita menyembah-Nya.
Tuhan pantas disembah dengan sukacita dan sorak-sorai serta puji-pujian syukur. Yang Mahakuasa pantas disanjung melebihi suporter mendukung pemain sepakbola idolanya. Oleh karena itu suasana ibadah kitapun seharusnya tidak kalah meriah terlepas dari alat musik, sound system ataupun pita suara yang tidak mendukung. Kita menyanyi dari hati dengan bersorak semaksimal yang kita mampu.
Yang kedua, Tuhan pantas dipuji dan disembah karena Dialah yang menciptakan kita. Kita semua adalah milik Tuhan dan umat gembalaan-Nya. Bahkan untuk membuka mata hari inipun kita tidak sanggup tanpa seijin Dia.
Dan bukan hanya Dia menciptakan kita, Diapun dengan penuh kesetiaan mengasihi dan menyertai kita sejak pertama kita lahir di dunia ini hingga kita menutup mata nanti, terlepas apakah kita setia kepada-Nya atau tidak.
🕯️Akh, betapa seringnya di ibadah saya tidak menyanyi memuji Tuhan dengan layak. Pikiran saya masih kemana-mana, bahkan adakalanya saya masih sempat membuka HP untuk melihat Whatsapp dan Facebook. Saya tidak menghayati lirik demi lirik dan sekadar membuka mulut untuk mengeluarkan suara. Sangat berbeda dengan suporter bola yang meneriakkan yel-yel untuk mendukung timnya bahkan sebelum pertandingan dimulai sampai laga usai.
🕯️Di sisi lain saya datang beribadah karena tugas dan rutinitas, tidak atas dorongan rasa syukur karena penyertaan Tuhan sepanjang minggu berjalan. Sangat jauh dibandingkan suporter bola yang mempersiapkan diri datang dengan jersey kebanggaan timnya dan sangat bersyukur karena boleh kebagian tiket pertandingan.
🕯️Firman hari ini mengajarkan saya untuk memiliki sikap dan alasan yang benar untuk menyembah Tuhan yang hidup dan berkuasa. Saya berketetapan hati untuk menyanyi dengan sungguh-sungguh dan menghayati setiap lirik lagu yang dilantunkan. Bersorak dan mengucap syukur bahwa saya ada semata atas ijin Tuhan.
Bro Sis,
Tuhan layak dipuji dan disembah dengan sorak-sorai.
Dia pantas disanjung dan ditinggikan.
Karena Dialah Sang Pencipta.
Sebab Dia adalah Allah yang setia menyertai dan menuntun kita.
Oleh karena itu,
Pujilah Dia!
Naikkan syukur pada-Nya dengan sorak-sorai!
“We should know and celebrate God with our whole person. While too many Christians neglect to serve God with the mind, others cultivate only their minds and neglect the emotional aspects of worship.”
—Craig S. Keener